Sejarah Perdagangan Gula di Indonesia

Pada awal kekuasaan VOC di Hindia Belanda yaitu sebelum terlibat pada kancah politik, kegiatan VOC semata-mata dipusatkan pada perdagangan saja. Benteng-benteng serta armada kapal VOC diutamakan untuk menjaga keamanan sumber komoditas dan menjaga jalur perdagangannya. Pada tahun 1623, VOC di Asia telah membangun 21 benteng dan memiliki lebih dari 100 kapal serta lebih dari 2000 personil militer maupun sipil[1]. Dua per tiga kapal-kapal VOC disibukkan dengan kegiatan blokade pelabuhan dan perampasan muatan kapal-kapal milik saingan VOC seperti Spanyol dan Portugis. Sampai tahun 1622, kegiatan perampasan muatan kapal musuh telah menjadi sumber utama pendapatan VOC. Untuk mendukung kehadiran VOC di Hindia Belanda, pada tahun 1610 saja VOC sudah membangun 12 benteng dan mengoperasikan 9 kapal perang.

VOC memonopoli perdagangan sehingga bidang usaha yang terbuka di sekitar Batavia hanyalah pertanian. Berkembangnya Batavia menjadikan berkembangnya pertanian di sekitar Batavia yang memasok hasilnya ke Batavia. Salah satunya yang berkembang adalah perkebunan tebu.

Read More

Meskipun gula menjadi komoditas perdagangan VOC, tidak ada niatnya untuk membangun industri gula. VOC hanya memanfaatkan industri gula di sekitar Batavia yang terbangun tanpa dukungan apapun dari VOC kecuali perijinan dan pemungutan pajak. Bagi industri gula itu sendiri tidak ada jalan lain untuk berkembang kecuali mematuhi VOC.

Catatan David Bulbeck menyebutkan VOC sudah mengekspor gula secara berkesinambungan sejak tahun 1622, yaitu gula kristal dari Tiongkok. Siam muncul sebagai sumber ekspor gula kristal coklat VOC sejak tahun 1634 dan gula kristal putih Jawa sejak tahun 1635, meskipun tidak ada catatan mengenai jumlahnya. Ekspor gula dari Jawa bersumber dari produksi di sekitar Batavia dan di Banten. Sejak tahun 1634 Tiongkok dan Jawa merupakan sumber tetap ekspor gula VOC ke Eropa. Wilayah lain seperti Benggala muncul sebagai sumber ekspor gula kristal putih pada tahun 1637, dan sejak 1639 ekspornya menjadi berkesinambungan.

Sementara itu pertikaian VOC dengan Banten belum selesai sehingga menghalangi perluasan lahan pertanian termasuk lahan tebu. Pada tahun 1656 pasukan Sultan Ageng Tirtayasa memusnahkan sebagian besar penggilingan di sekitar Batavia. Pada tahun 1652 hanya terdapat 20 penggilingan tebu sedangkan pada tahun 1660, penggilingan tebu di sekitar Batavia tersisa 10 saja.

Tahun 1684 membawa perubahan pada industri gula Batavia, yaitu meninggalnya Sultan Ageng Tirtayasa dan dicabutnya tuntutan Mataram atas wilayah Batavia maka perluasan perkebunan tebu dapat mulai dilakukan. Batas wilayah Batavia diperluas dari Angke ke sungai Tjisadane dan di sebelah timur batasnya diperluas sampai ke sungai Tjitaroem. Berkembangnya industri gula juga didukung oleh penghapusan larangan bepergian ke luar negeri oleh Kaisar Tiongkok bagi warganya. Pencabutan larangan tersebut menyebabkan emigrasi besar-besaran dari Tiongkok, termasuk ke Batavia.

Permintaan dari Eropa yang makin meningkat merupakan pendorong bagi pengembangan industri gula di Jawa sejak 1640. Akan tetapi sesudah tahun 1670 gula dari Jawa tidak mampu bersaing harga dengan gula dari Amerika Selatan. Menghadapi keadaan tersebut VOC mengekspor gula ke Eropa sebagai ballast kapal serta mengalihkan pasar utamanya ke Asia yaitu Persia, Surat dan Jepang. Pada dasawarsa terakhir dari abad XVII, Persia dan Jepang telah menjadi pasar utama ekspor gula VOC dari Jawa. Runtuhnya Dinasti Sofi di Persia dan surutnya pasaran Jepang sesudah 1719 menyebabkan dialihkannya pasar utama gula Jawa ke Surat, Mocha dan Sri Lanka yang berkembang terus sampai tahun 1730-an.

Industri gula di Batavia berkembang makin pesat mencapai jumlah 130 kilang pada tahun 1710. Namun perkembangan industri gula di sekitar Batavia mencapai batas ekologinya pada akhir abad XVIII. Industri gula yang banyak berlokasi disepanjang sungai Ciliwung telah menyebabkan makin kurusnya tanah dan pembabatan hutan. Makin kurusnya tanah menyebabkan penurunan produktivitas tebu sedangkan penggundulan hutan menyebabkan berkurangnya pasokan kayu bakar. Hal ini menyebabkan relokasi penggilingan tebu Batavia ke menjauh ke sungai-sungai di timur dan barat Batavia. Pada tahun 1711, dari sejumlah 131 penggilingan tebu 50 diantaranya berlokasi di Ciliwung, 23 di Pasanggrahan, 5 sungai Angke. 8 di Cakung dan 7 di Cisadane. Pada tahun 1767, dari 82 penggilingan di sekitar Batavia, 5 berlokasi di sepanjang sungai Ciliwung, 9 di sepanjang sungai Pasanggrahan, 9 di Angke, 22 di Cisadane, 15 di Bekasi dan 6 di Mookervaard. Sementara itu di wilayah lain dikembangkan kilang-kilang tebu, yang pada tahun 1720 tercatat adanya 4 kiang di Banten, 11 di pantai utara Jawa dan 5 di Cirebon.

Pemberontakan orang-orang Tionghoa di Batavia tahun 1740 menyebabkan penurunan drastis produksi gula pada dasawarsa berikutnya. Pada tahun 1714 hanya tinggal 9 industri gula di sekitar Batavia. Sepuluh tahun kemudian industri gula sudah pulih kembali dimana jumlahnya meningkat menjadi 80.[2]/

Tahun 1750 produksi gula di Jawa telah pulih kembali dan berkembang sampai tahun 1760-an, terutama untuk pasaran Asia. Namun Perang Napoleon di Eropa telah sangat menciderai armada angkutan VOC sehingga produksi gula Batavia menurun drastis mencapai 1800 ton saja pada tahun 1799.

Ekspor Gula ke Belanda oleh VOC tahun 1622-1641 (ton)

 Tahun  Asal Gula
Tiongkok  (Gula Putih)  Benggala  (Gula Putih)  Jawa  (Gula Putih)  Siam  (Gula Coklat)   Total  VOC
1622 109 0 0 0 109
1631 17 17
1632 X 0
1633 X 0
1634 X 0 0 X 212
1635 X X
1636 X X
1637 574 X 600 X 1174
1638 X X 966
1639 X X X X
1640 X X X X
1641 X X X X 1019

Keterangan tabel :Sumber : David Bulbeck

X = Ada ekspor tapi tidak diketahui jumlahnya karena tidak tercatat

0 = Dipastikan tidak ada ekspor

— Tidak ada data

XXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXX

Meskipun mereka mendirikan industri-industri gula dalam koloninya di Karibia dan Amerika Selatan serta mengembangkan industri gula Brazil selama pendudukan mereka, Belanda memiliki dampak relatif sedikit permanen di wilayah tersebut. Namun mereka meninggalkan suatu warisan gula kolonial yang sangat penting dalam pengembangan industri gula Jawa. Jawa menjadi pemain penting dalam ekonomi gula dunia pada akhir abad ke-19 dan paruh pertama abad ke-20.
Ketika Belanda tiba di Jawa pada tahun 1596, di sana terdapat industri gula yang dikuasai oleh imigran Tionghoa. Belanda mulai mengembangkan industri gulanya dari tahun 1619 dan menemukan pasar di Persia dan Jepang. Pembangunan berjalan lambat selama abad ke-17 dan abad ke-18, karena sulitnya mendapatkan pasar yang ekonomis sejak gula Jepang tidak bisa bersaing dengan gula Brasil dan gula Karibia di Eropa karena tingginya biaya pengiriman. Pada paruh kedua abad ke-19, ada ekspansi yang cepat dan pada tahun 1896 produksi mencapai 534.000 ton, membuat Jawa sebagai produsen gula tebu terbesar kedua di dunia setelah Kuba. 

Tahun 1630 Heeren XVII[1]/ makin menaruh perhatian pada gula dari Asia ketika pasokan gula dari koloni Belanda di Brazil mulai terganggu akibat pertikaiannya dengan orang-orang Portugis. Harga gula yang tinggi menyebabkan gula dari Asia dapat memberikan dapat memberi keuntungan yang cukup meskipun menjalani pelayaran yang lebih panjang yaitu melalui Tanjung Pengharapan.

Untuk memenuhi kebutuhan tenaga kasar, Coen menculik orang Macau untuk dijadikan budak. Demikian pula pada tahun 1621 Coen menggunakan para tawanan dari Banda sebagai budak di Batavia.

Setelah mengalami serangan Sultan Agung dari Mataram tahun 1628, pertahanan Batavia diperkuat dengan kanal dan tembok kota. VOC mendatangkan banyak budak dari Goa, India dan Arakan, Myanmar, serta tawanan dari kerajaan-kerajaan yang dikalahkan seperti Banda, Bali dan Sulawesi. Setelah Batavia diperluas dan dilengkapi pertahanan baru, hanya orang-orang mardijker serta pekerja trampil dan pedagang yang umumnya orang Tionghoa dibolehkan tinggal di Batavia. Dengan demikian, para budak dan orang-orang Tionghoa bersama para mardijker adalah kelompok etnis Asia terbesar di Batavia. Orang-orang Tionghoa, baik yang di dalam kota mapun yang di luar dinding kota nantinya akan sangat berperan dalam industri gula Batavia.

Karena VOC membatasi kegiatan usaha di Batavia maka kebanyakan penduduk mencari nafkah di bidang pertanian di luar kota Batavia, termasuk penggilingan tebu yang menghasilkan gula dan tetes tebu untuk Batavia. Tahun 1630-an sudah terdapat perkebunan tebu yang dikelola orang-orang Tionghoa[2]/. Kegiatan tersebut umumnya dibangun di sepanjang sungai Ciliwung di sekitar Batavia. Gula dibungkus keranjang dari daun kelapa dan dikirim ke Batavia dengan sampan melalui sungai Tjiliwoeng.

Tujuan utama VOC ke Banten adalah lada dan bukannya gula. Upaya untuk memonopoli perdagangan lada tidak berhasil karena berhadapan dengan Kesultanan Banten yang kuat dan persaingan dari East India Company-nya Inggeris. 

Cornelis de Houtman tiba di Sunda Kelapa 13 Nopember 1596 yang merupakan pelabuhan kota Jayakarta. Penduduk Sunda Kelapa berjumlah beberapa ribu orang termasuk komunitas kecil Tionghoa di utara kota yang umumnya pedagang dan pembuat arak. Kota tersebut adalah bagian dari Kesultanan Banten dengan penguasanya adalah Pangeran Wijayakrama. Pelabuhan ini dianggap strategis sehingga sampai tahun 1610 menjadi persinggahan kapal-kapal VOC untuk mengisi perbekalan.

Tahun 1611, permintaan Pieter Both[3]/ untuk membangun benteng ditolak oleh penguasa Djajakarta yaitu Pangeran Widjajakrama dan hanya diberi ijin untuk membangun kantor dagang di distrik Tionghoa di tepi sungai Tjiliwoeng. Pada tahun 1618 orang-orang Inggeris juga diberi ijin pendirian kantor dagangnya berseberangan dengan kantor dagang VOC. Orang-orang Belanda tidak suka kepada orang-orang Inggeris : “de Engelschen, die overal waar de Nederlanders de baan gebroken hadden, zich achter dezen vertoonden.” (“Orang-orang Inggeris ini, dimanapun kita membuka jalan, selalu menapaki jejak kita”).

Tahun 1630 Heeren XVII[4]/ makin menaruh perhatian pada gula dari Asia ketika pasokan gula dari koloni Belanda di Brazil mulai terganggu akibat pertikaiannya dengan orang-orang Portugis. Harga gula yang tinggi menyebabkan gula dari Asia dapat memberikan dapat memberi keuntungan yang cukup meskipun menjalani pelayaran yang lebih panjang yaitu melalui Tanjung Pengharapan.

Untuk memenuhi kebutuhan tenaga kasar, Coen menculik orang Macau untuk dijadikan budak. Demikian pula pada tahun 1621 Coen menggunakan para tawanan dari Banda sebagai budak di Batavia.

Setelah mengalami serangan Sultan Agung dari Mataram tahun 1628, pertahanan Batavia diperkuat dengan kanal dan tembok kota. VOC mendatangkan banyak budak dari Goa, India dan Arakan, Myanmar, serta tawanan dari kerajaan-kerajaan yang dikalahkan seperti Banda, Bali dan Sulawesi. Setelah Batavia diperluas dan dilengkapi pertahanan baru, hanya orang-orang mardijker serta pekerja trampil dan pedagang yang umumnya orang Tionghoa dibolehkan tinggal di Batavia. Dengan demikian, para budak dan orang-orang Tionghoa bersama para mardijker adalah kelompok etnis Asia terbesar di Batavia. Orang-orang Tionghoa, baik yang di dalam kota mapun yang di luar dinding kota nantinya akan sangat berperan dalam industri gula Batavia.

Karena VOC membatasi kegiatan usaha di Batavia maka kebanyakan penduduk mencari nafkah di bidang pertanian di luar kota Batavia, termasuk penggilingan tebu yang menghasilkan gula dan tetes tebu untuk Batavia. Tahun 1630-an sudah terdapat perkebunan tebu yang dikelola orang-orang Tionghoa[5]/. Kegiatan tersebut umumnya dibangun di sepanjang sungai Ciliwung di sekitar Batavia. Gula dibungkus keranjang dari daun kelapa dan dikirim ke Batavia dengan sampan melalui sungai Tjiliwoeng.

Jan Pieterzoon Coen[6]/ sejak tahun 1614 sudah berpikir bahwa pembangunan benteng sangat penting bagi VOC untuk menguasai perdagangan. Kehadiran kantor dagang Inggeris menebalkan niatnya untuk membangun benteng VOC yang kuat. Pembangunan benteng ini menyebabkan pertikaiannya dengan Pangeran Wijayakrama. Menghadapi Banten yang kuat, pada akhir tahun 1618 Coen berangkat ke Amboina mengumpulkan balabantuan untuk menyerang Djajakarta.

Coen berhasil mengalahkan Pangeran Wijayakrama dalam penyerbuan ke istana pangeran Widjajakrama di Paseban pada tahun 1619. Selanjutnya, orang-orang Banten diusir dari Batavia, demikian pula orang-orang Inggeris dengan 15 kapalnya. Kota Jayakarta diubah namanya menjadi Batavia. 

Coen berniat menjadikan Batavia semata-mata sebagai pusat perdagangan VOC saja. Seluruh kegiatan VOC dipusatkan pada pengumpulan barang dan administrasi perdagangan. Untuk didatangkan banyak budak dari jajahan Portugis di India dan dari Arakan (Myanmar). Selanjutnya juga didatangkan tawanan-tawanan dari kerajaan-kerajaan yang dikalahkannya seperti Sulawesi, Banda dan Bali. Pada masa itu jumlah budak mencapai 60% dari penduduk dalam dinding kota Batavia. Orang-orang Belandapun dilarang membawa keluarganya ke Batavia. Mereka yang boleh tinggal hanyalah pekerja trampil dan pedagang kebutuhan sehari-hari yang umumnya adalah orang-orang Tionghoa. Dengan demikian, parabudak dan orang-orang Tionghoa bersama para mardijker adalah kelompok etnis Asia terbesar di Batavia. Hal inilah yang menjadi salah satu sebab besarnya peran orang-orang Tionghoa dalam industri gula Batavia.

Karena VOC membatasi kegiatan usaha di Batavia maka kebanyakan penduduk mencari nafkah di bidang pertanian di luar kota Batavia, termasuk penggilingan tebu yang menghasilkan gula dan arak untuk Batavia. Kegiatan tersebut umumnya dibangun di sepanjang sungai Ciliwung di sekitar Batavia. Gula dibungkus keranjang dari daun kelapa dan dikirim ke Batavia dengan sampan melalui sungai Tjiliwoeng.

Produksi gula dari sekitar Batavia masih tersendat karena perseteruannya dengan Sultan Agung[7]/ dari Mataram. Meskipun serangannya ke Batavia gagal, masih banyak sisa-sisa prajurit Mataram yang berada disekitar benteng Batavia karena tidak mau atau tidak berani kembali ke Mataram.

Sementara itu pertikaian dengan Banten belum selesai. Pada tahun 1656 pasukan Sultan Ageng Tirtayasa memusnahkan sebagian besar penggilingan di sekitar Batavia. Peperangan dengan Banten menghalangi perluasan kebun tebu. Pada tahun 1652 hanya terdapat 20 penggilingan tebu sedangkan pada tahun 1660, penggilingan tebu di sekitar Batavia tersisa 10 saja.

Tahun 1684 membawa perubahan pada industri gula Batavia, yaitu meninggalnya Sultan Ageng Tirtayasa dan dicabutnya tuntutan Sultan Mataram atas wilayah Batavia maka perluasan perkebunan tebu dapat mulai dilakukan. Batas wilayah Batavia diperluas dari Angke ke sungai Tjisadane dan di sebelah timur batasnya diperluas sampai ke sungai Tjitaroem.Berkembangnya industri gula juga didukung oleh penghapusan larangan bepergian ke luar negeri oleh Kaisar Tiongkok bagi warganya. Pencabutan larangan tersebut menyebabkan emigrasi besar-besaran dari Tiongkok, termasuk ke Batavia.

Related posts

Leave a Reply

Your email address will not be published.