
Sekembalinya dari petualangan di Amerika Serikat, rutinitas sebagai manajer keuangan di sebuah proyek pasar kota Karawang membuat Fathi Bawazier jenuh. Ia pun iseng-iseng mendirikan usaha jasa desain grafis di garasi rumahnya. Siapa sangka, dari usaha pengisi waktu luang itulah kini ia bisa memiliki lima percetakan besar.
Di sebuah halte menuju kota Los Angeles, Amerika Serikat, di situlah Fathi Bawazier bersama sepupunya diturunkan sopir bis antar-kota negara itu. Pemuda kelahiran Bogor, Jawa Barat, yang baru saja datang dari Indonesia mengadu nasib di negera Paman Sam itu, kagetnya bukan kepalang. Ia ternyata turun di sebuah wilayah gembel, seperti yang kerap ditontonnya berbagai film-film produksi Holywood.
Tak mengenal siapa pun di sana, uang sejumlah 400 dollar AS disakunya hanya bisa menyewa penginapan murah di wilayah tersebut. Tak sedikit pun rasa takut menghinggapi dirinya saat itu. Pengalaman merantau empat bulan di negara Australia setamat SMK di usianya yang ke 19 tahun, membuatnya sedikit familiar dengan kondisi di negara orang lain. Tekadnya jauh lebih kuat saat kedua orang tuannya menahannya untuk hidup di Indonesia saja.
Setiap hari di kota itu, ia bolak-balik ke sebuah Masjid untuk berdoa. Seperti sudah menjadi jalannya, ia akhirnya bertemu dengan orang Indonesia yang akhirnya membantunya mencarikan pekerjaan. Mulailah ia bekerja dari tukang bersih-bersih, tukang antar pizza hingga akhirnya diterima di sebuah pompa bensin. Di pompa bensin itulah karirnya menanjak hingga akhirnya menjadi manajer. Ia pun disekolahkan, tetapi akhirnya kabar tak baik pun datang dari kampung halamannya.
“Bapak saya sakit berat,” ujarnya sembari melanjutkan, kuliahnya belum sempat kelar di negara tersebut. Awalnya ia bercita-cita, bila tak lulus tes masuk perguruan tinggi negeri di Indonesia, ia harus kuliah di luar negeri. Saat ia pulang dari Amerika, ia tidak mendapati ayahnya dalam kondisi terkulai lemas, melainkan ayahnya yang segar bugar karena kedatangannya ternyata menyembuhkan ayahnya dalam sekejab. Singkat cerita, ia pun menikah dan kemudian dipanggil mertuanya di kota Karawang untuk membantu financial sebuah proyek pasar di kota itu.
“Awalnya saya dimintai bantuan untuk financial manager selama enam bulan, tetapi ternyata proyeknya ditambah bukan hanya di satu blok pasar saja,” tukasnya yang akhirnya meninggalkan pekerjaannya di Bogor sebagai guru. Ia pernah mengajar di sebuah lembaga kursus bahasa Inggris, di sebuah bank dan toko furniture. Alhasil, kesibukannya sebagai financial manager itu, membuatnya jenuh. Hobinya ngutak-ngatik komputer adalah kegiatannya sepulang kerja untuk mengatasi rasa jenuhnya.
“Akhirnya saya berpikir alangkah sayangnya, punya barang mahal di rumah, gak saya manfaatkan jadi duit,” ceritanya yang kemudian memiliki ide untuk membuka usaha desain grafis. Karena hanya sebagai pengisi waktu, ia pun memanfaatkan garasi rumahnya untuk usaha tersebut. Tetapi sayangnya, ia belum memiliki kemampuan desain grafis, sehingga memaksanya untuk belajar beberapa program desain secara otodidak.
“Kuncinya adalah bahasa Inggris, dengan bantuan menu help, saya sudah bisa menguasai program correl draw saat itu,” ujar bapak tiga anak ini. Saat dia sudah fasih dengan program itu, ia pun men-transfer-kan ilmunya kepada karyawannya yang saat itu hanya satu orang. Sebuah komputer pentium miliknya saat itu, masih langka di daerah Karawang, sehingga antrean panjang pengguna jasa desainnya pun kian panjang di depan garasinya.
“Karena pentium itu baru saya yang punya di Karawang waktu itu. Saat jasa desain lainnya bisa ngeprint memakan waktu 30 menit, saya hanya dalam 2 menit saja,” ujarnya berbahak seraya menunjukkan bahwa saat ini ngeprint dalam hitungan detik dan bukan hal yang langka lagi di daerah Karawang. Saat itu, hanya usahanyalah yang bisa membuat logo sebab telah memiliki peralatan scanner.
Di luar dugaannya, permintaan akan jasa desainnya pun melesat tajam. Satu orang karyawannya nyaris tak bisa menyelesaikan sendiri pekerjaannya. Ia pun mulai menambah karyawan. “Setelah satu karyawan, tambah lagi menjadi dua, tiga dan empat akhirnya saya membeli mesin cetak,” sebutnya. Ia membeli mesin cetak berlabel Toko saat itu. Layanannya pun melebar ke jasa sablon.
“Akhirnya, mulai padatlah garasi rumah saya itu,” ujarnya melanjutkan, ruko milik mertuanya yang juga merupakan seorang pengusaha sukses di kota itu dipakainya untuk kemudian membuka usaha percetakan. Ia memberikan nama usaha percetakannya Cipta Grafika. “Mertua saya bilang, kalau mau maju pinjam uang di bank,” kisahnya, yang sempat berpikir, kenapa mertuanya yang kaya itu tak memberikan uang begitu saja kepadanya.
Mertuanya yang ternyata membangun usahanya dari nol, ia melanjutkan, ingin mengajar pahitnya membangun usaha dari bawah. “Dan ternyata beda rasanya kalau pinjam uang orang lain, rasa takutnya ada dan memakainya dengan hati-hati sekali juga,” tandasnya. Waktu pun berjalan, ruko mertuanya ia tinggalkan, ia pun membeli lahan sendiri untuk dijadikan usaha percetakan, di sebuah jalan kota Kerawang.
Gedung tiga lantai dibangunnya, di dalamnya di bagi per devisi. Bukan hanya itu, ia juga menambah cabang-cabang percetakannya, hingga jumlahnya menjadi lima percetakan besar. Diantaranya di Cikarang, Cianjur dan Purwakarta. “Saya juga akan membuka kesempatan franchise percetakan, dan bisa dibilang sebagai franchise percetakan pertama di Indonesia,” lanjutnya. Kini karyawannya berjumlah 62 orang yang tersebar di seluruh percetakannya.
Usaha percetakan yang bermula dari tahun 1994 itu tak pernah goyang. Saat krisis moneter tahun 1998 silam, percetakan yang melayani semua kebutuhan cetak itu tetap bertahan sementara para pesaingnya bertumbangan. Ia Tidak bersaing dengan harga, tetapi kualitas pelayanan. “Saya ingin menyampaikan bahwa rejeki yang halal itu masih ada bila dikejar,” pungkas pria yang menolak mentah-mentah segala bentuk mark up dalam usahanya itu.