
Setelah malang-melintang di dunia jurnalistik sebagai seorang wartawati, Ima Rahmawati akhirnya memutuskan menjadi pengusaha. Kuliner khas Banten yang belum dikenal luas merupakan peluang yang digarapnya. Lantas, tanpa pengalaman menjadi pengusaha ia nekat mendirikan restoran berlabel Nong Ima. Sukseskah Ia?
Sebagai seorang wartawati senior, Ima Rahmawati tentunya memiliki segudang pengalaman. Kemampuan dan networking-nya sangatlah besar. Apalagi setelah mendapat beasiswa sekolah di negara Australia, kemampuannya kian diperhitungkan. Ia terakhir nyangkut menjadi staf ahli salah satu anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) beberapa tahun silam.
Penghasilannya mulai menanjak lebih dari cukup. Namun, zona nyaman yang dirasakannya berujung dengan keputusan untuk menjadi pengusaha kuliner. Dirinya yang suka berpetualang menikmati makanan tradisional saat itu, langsung tertuju pada makanan khas Banten, kuliner tempat ia berasal.
Semua hasil tabungannya dipakai mewujudkan keinginannya tersebut. “Saya ingin kebebasan mengatur waktu dan mendapatkan penghasilan yang lebih besar lagi,” begitu alasannya terjun menjadi pengusaha. Tanpa pengalaman, ia mengaku nekat apa pun resiko yang akan dihadapinya nanti. “Kebetulan mama saya cukup dibilang ‘suhu’ dalam bidang masak-memasak di Banten,” ujar Ima, begitu sapaan akrabnya.
Mulai saat itu, ia pun rajin berada di sisi ibundanya tercinta untuk belajar masak, sekaligus mencari formula makanan khas Banten yang pas di lidah semua orang Indonesia. Ibundanya yang pernah menjuarai lomba masak hari pangan sedunia itu bahkan rela membuat masakan baginya yang kemudian dipamerkan di beberapa kesempatan. Sebut saja, di Pasar Raya hingga Plaza Bapindo.
“Ternyata responnya baik,” ujarnya kian yakin dengan peluang masakan Banten-nya. Rasanya yang menggoda membuat semua pengunjung menanyakan dimana lokasi restorannya bila ingin menyantapnya kembali. Sampai-sampai seorang pemilik mal menawarkan tempat agar ia bisa mendirikan restoran di deretan food court-nya.
Tetapi Ima menolak sebab ia mencari lokasi di tempat paling strategis, yang menjadi icon-nya kota Jakarta. “Karena ingin cepat mengangkat nama restorannya,” kata Ima. Ia lalu mendapatkan space yang kosong di Sarina, Jakarta Pusat. Sayangnya, sudah mendapatkan tempat, ia belum memiliki konsep yang pas untuk restorannya itu.
“Jadi dua bulan saya masih belum tahu mau dibikin apa. Yang penting tempatnya dulu,” tukasnya. Hingga satu bulan lebih tempat itu belum dimanfaatkan olehnya sehingga akhirnya diperingatkan pihak gedung, bila tak dimanfaatkan akan mendapatkan pinalti Rp500 ribu setiap harinya. Ia pun kalang kabut, sehingga berpikir bagaimana caranya agar segera membangun restoran di tempat tersebut.
Beberapa menu makanan sudah berhasil mendapat respon banyak orang. Konsep restorannya akhirnya dibuat dengan nuansa tradisional. Semua pengunjung tahu bagaimana proses pemasakan menu-menunya sebab dibuat open kitchen. “Bahkan semua bumbunya ditumbuk dan diulek, tidak ada yang diblender,” tukasnya yang mengaku selama 6 bulan didampingi ibunda tercinta di restoran itu dalam rangka transfer ilmu masaknya.
“Saya bahkan tidur di sini dan pagi-pagi ke pasar saat enam bulan pertama,” imbuhnya. Impian yang besar tak pernah menyurutkan semangatnya. Setiap hari ia mendidik karyawannya agar rasa masakannya sudah hampir mirip dengan yang dibuat ibundanya. Ia juga melakukan pendekatan kepada setiap customer bahwa sajian masakannya adalah masakan asli Banten, sebab belum banyak orang yang tahu tentang masakan Banten.
Alhasil, restoran berlabel Nong Ima itu pun kian dikenal. Saat dibuka pertama kali, langsung diserbu pengunjung, bahkan dalam setengah hari sudah mampu meraup omset sebesar Rp1,7 juta. “Kalau saat ini sih sudah berkisar di bawah Rp5 juta per hari, dan bahkan di hari-hari rame bisa di atas angka tersebut,” tukasnya. Hal itulah yang membuatnya kian semangat mendirikan restoran serupa. Sebuah restoran terbesar ia dirikan di Serang di atas bangunan semi permanen serta tiga restoran lainnya di tempat yang berbeda termasuk beberapa food station.
Kendati demikian, tantangan dalam membesarkan usahanya selalu datang silih berganti. Mulai dari masalah sumber daya manusia yang mentalnya kurang bagus, hingga beberapa restorannya yang pernah sama sekali tak didatangi pengunjung. “Bahkan saya pernah berpikir untuk take over saja atau menutupnya saja,” terangnya. Namun, karena sadar akan peluang masakan itu, ia tetap sabar sehingga akhirnya perlahan mulai menoreh untung.
Impian lain Ima untuk mengangkat Banten dari sisi kulinernya pun akhirnya terwujudlah sudah. “Ada kegelisaan Banten sudah 11 tahun jadi provinsi, tetapi kok gak dikenal-kenal. Orang tahu magic-nya saja atau jawaranya saja. Jadi saya ingin ubah image itu, bahwa jawaranya bukan berantam, pelet, atau magic saja, tetapi juga jawara kuliner,” ujarnya seraya menunjukan slogan restorannya sebagai restoran khas Banten, Nong Ima Jawara Masakan Banten. Saat ini ia juga mempekerjakan setidaknya 50 orang karyawan, yang semuanya berasal dari Banten.