
Sebagai bumbu masakan, bawang goreng sangatlah gampang ditemui di setiap pasar trandisional hingga moderen. Belakangan camilan bawang goreng di sejumlah daerah booming. Lantas mengapa bawang goreng berlabel Bawang Merah Bu Anis kewalahan memenuhi permintaan baik dari dalam mau pun luar negeri?
Di Palu, Sulawesi Tengah, tumbuh subur sejumlah pengusaha yang memproduksi bawang goreng. Uniknya, bawang goreng yang diproduksi bukan untuk bumbu yang biasanya untuk menambah citarasa masakan, tetapi murni untuk camilan alias camilan bawang goreng. Sementara sebagai bumbu masakan, bawang goreng dengan gampang bisa dijumpai di setiap pasar tradisional hingga moderen.
Sebagai camilan yang memiliki rasa dominan manis, camilan bawang goreng tersebut tak enak bila dipaksakan menjadi bumbu. Sebaliknya, bawang goreng yang memang sebagai bumbu kurang nikmat bila dijadikan camilan. Hal itulah yang menggugah niat Achmad Hasanudin tiga tahun silam untuk memproduksi bawang goreng tetapi yang bisa bermanfaat sebagai camilan dan bumbu masakan.
Untuk itu, Hasan – begitu ia akrab disapa, sering bolak-balik ke sejumlah daerah penghasil bawang merah untuk mendapatkan bahan baku bawang yang cocok buat camilan sekaligus bumbu. “Saya pelan-pelan melakukan observasi, mencoba menggoreng berbagai jenis bawang merah, menambah dan mengurangi bahan baku tambahan dan sebagainya,” ujar bapak tiga anak ini tentang proses mengawali usahanya. Hasil bawang goreng modifikasinya itu, ia suguhkan kepada setiap tamu yang bertandang ke rumahnya.
Semakin tajam membaca selera konsumennya, Hasan pun terus mencari bahan baku yang sesuai sehingga akhirnya menemukan bahan baku bawang merah yang cocok. “Bawang Majalengka saya pikir sangat cocok untuk bahan bakunya,” ujarnya seraya melanjutkan, bawang tersebut hanya bisa tumbuh di dataran tinggi. Tekstur tanah yang keras juga membuat bawangnya memiliki tekstur bawaan yang juga keras.
Tekstur bawang yang keras membuat hasil bawang gorengnya gurih dan renyah. Lebih dari itu, tak seperti bawang Palu yang manis, bawangnya juga bisa digunakan sebagai bumbu. “Saya hanya menambah tepung yang terbuat dari tepung beras dan garam,” ujarnya tentang racikannya yang sederhana itu, tetapi memiliki citarasa yang menggugah selera baik sebagai camilan mau pun bumbu.
Alhasil, saat memperkenalkan bawang goreng itu, permintaan pasarnya pun terus melambung. Baik dari tetangga, kenalan hinggan komunitas karyawan di tempat ia bekerja sebelumnya.”Bahkan hingga saat ini permintaan datangnya dari seluruh Indonesia,” ujarnya. Selain dari dalam negeri, ia juga beberapa kali meng-eskpor bawangnya ke beberapa negara.
“Namun yang secara tetap setiap bulan minta dikirimin bawang goreng ini adalah negara Filipina,”sebutnya bangga. Dari negara itu, setiap bulan ia mengirim kurang lebih 500 toples. Menurutnya, warga di negara itu sangat menyukai bawang gorengnya. Ke depan di negara itu bersama mitranya ia berencana mendirikan pabrik bawang goreng.
Di Indonesia sendiri permintaan juga terus meningkat tajam. Setiap bulan ia memproduksi setidaknya 5 ribu toples. “Ibu-ibu yang gak sempat goreng bawang ke dapur sebagai bumbu masakan setiap harinya pasti membutuhkan bawang goreng ini,” jelasnya. Pun demikian, bawang goreng itu juga bisa dijadikan camilan disaat santai di rumah menemani acara nonton TV dan sebagainya.
“Sampai-sampai ada tetangga yang membeli satu toples dan habis dalam satu malam untuk camilan saat nonton TV,” ujarnya berbahak. Tak heran, dari beberapa supermarket besar atau pun minimarket kerap mengajaknya untuk kerjasama. Tetapi ia menolaknya karena lebih ingin menjual produknya secara langsung ke konsumen. Lagi pula, kerjasama dengan supermarket itu memberikan syarat yang kurang adil sebab pembayaran dilakukan tiga bulan.
Apalagi, dengan proses goreng yang masih tradisional ia dimungkinkan kewalahan memenuhi permintaan yang besar. “Proses penggorengan dilakukan secara hati-hati oleh dua orang karyawan dibantu oleh satu orang asisten,” tukasnya yang saat ini masih menggunakan rumahnya, di Kalisari, Jakarta Timur sebagai tempat produksinya. Setelah digoreng, kata dia, bawang langsung dikemas dalam toples yang telah dilabeli Bawang Merah Bu Anis.
“Yang paling berat adalah proses pengupasan bawang itu sendiri,” katanya. Mengakalinya ia mempekerjakan ibu-ibu rumah tangga di sekitar tempatnya tinggalnya itu. Ia membagikan proyek padat karyanya itu dalam dua kelompok ibu-ibu yang per kelompoknya berjumlah 10 orang. Menurutnya, dalam sehari satu orang bisa mengupas kurang lebih 20 kg bawang mentah. Per kg mereka bisa mengantongi fee jasa pengupasan sebesar Rp1500.
Menurut dia, proses pembuatan bawang gorengnya cukup hati-hati. “Proses menggorengnya unik, gak bisa cepat-cepat. Sebab apinya harus selalu stabil sehingga kualitas bawangnya tak berubah,” katanya melanjutkan, kandungan garam dan tepung beras juga tak boleh lebih dari 5 persen. Dalam satu hari ia bisa menggoreng setidaknya 100 hingga 200 toples.
Dari usaha bawang gorengnya, Hasan telah mengantongi pendapatan yang tak sedikit. Dari 5 ribu toples yang berhasil dijualnya dalam satu bulan, per toples ia bisa mengantongi untung bersih Rp3500 atau senilai Rp 17.500.000 bila dikalikan 5 ribu toples. Harga jual kepada konsumen, per toples dibanderolnya sebesar Rp 30 ribu, sementara agen sebesar Rp 25 ribu dan distributor Rp 22.500